Rabu, 04 Desember 2013

Beda Cinta, Setipis Keyakinan

Saya mengingat lagi cerita teman saya. Baru beberapa hari saya temui dia di cafe, di bilangan Depok, Jawa Barat. Jujur, pikiran saya masih terbebani oleh cerita yang ia ungkapan. Tentang hubungannya, tentang kekasihnya, yang jauh dari kata normal. Iya, mereka berbeda, tidak sama seperti orang lainnya.

Ketika dia bercerita dengan menggunakan air mata, saya tahu bahwa beban yang ia pikul sangatlah berat. Air mata yang saya lihat hari Rabu kemarin adalah luapan emosinya yang sempat tertahan. Saya bisa rasakan sakit yang memukul-mukul perasaannya. Tapi, dalam duka, masih terselip kebahagiaan yang mampu ia ceritakan pada saya, walau dengan suara tertatih, walau dalam halaan napas lirih.

Jatuh cinta adalah dua kata yang sulit dijelaskan. Tidak terdefinisikan. Soal hati, kata-kata seakan tak ahli untuk memaparkan juga mendeskripsikan. Saya tidak akan berbicara tentang cinta, juga tentang mimpi omong kosong yang diciptakan saat hadirnya cinta. Ini semua soal kenyataan, soal dunia yang begitu klise. Agama.

Air mata memang sia-sia,  karena yang dibutuhkan di sini adalah kedewasaan. Semua berawal manis dan indah. Teman saya, awalnya memang bercerita dengan senyum sumringah. Ia berkenalan dengan seorang pria, secara tidak sengaja. Tentu saja, kita seringkali menganggap banyak hal terjadi karena kebetulan. Kebetulan mungkin adalah rencana Tuhan yang belum benar-benar kita pahami.

Tatapan mereka saling beradu, hanya senyum dan tawa yang tercipta kala itu. Teman saya, wanita beragama Khatolik tersebut, baru selesai pentas tari. Lalu, dunia berkonspirasi, mempertemukan dia dengan seorang pria, yang membuat hatinya merasa nyaman. Pria yang tiba-tiba merangsuk masuk dalam ingatan dan jengkal napasnya.

Indah memang, cinta mengubah segala yang hitam putih menjadi warna-warni. Tumpukan kebahagiaan semakin sempurna, ketika perkenalan teman saya dan pria itu berlangsung ke tahap yang lebih dalam, lebih dekat.

Segalanya terasa manis, walaupun juga terasa asing. Rasa nyaman itu kini berangsur berubah menjadi rasa takut kehilangan. Mereka berusaha untuk saling melindungi satu sama lain. Mungkin, ketika salib berada dalam genggaman tangan teman saya, dan ketika tasbih berada dalam genggaman pria itu; dengan air mata, mereka saling mendoakan.

Saya bisa rasakan kehangatan mereka. Sangat hangat. Sangat dekat. Saya iri, mengingat hubungan saya yang lebih dulu kandas termakan perpisahan. Saya dan pria di masa lalu tersebut tidak sekuat dan setegar teman saya. Oh, jadi curhat. Sungguh, saya benci membahas masa yang tak ingin saya ingat lagi. Teman saya dan kekasihnya masih terus mempertahankan walau mereka berbeda. Perbedaan keyakinan bukan alasan untuk tidak saling jatuh cinta.

Inilah yang membuat saya semakin terharu, teman saya menunggu kekasihnya salat di masjid. Ia menunggu dengan sangat sabar meskipun lirikan mata yang tajam tertuju padanya.

Dalam perbedaan, mereka saling menguatkan. Keindahan mereka sampai pada kelopak mata saya. Saya tak tahu harus berkomentar apa. Terharu? Prihatin? Sinis?

Hey, mereka berbeda dari pasangan yang lainnya. Mereka bukan pasangan bermanja-manja yang mabuk kepayang akan cinta, saling bergelayut mesra dalam pelukan. Sampah. Pacaran model cinta monyet. Teman saya dan kekasihnya sungguh berbeda, mereka punya kebahagiaan yang tak dimengerti banyak orang. Kebahagiaan yang belum tentu bisa dirasakan oleh banyak orang yang sibuk menghakimi hubungan mereka.


Apa yang membuat dua orang saling memperjuangkan jika bukan karena cinta? 

Perbedaan dan Air Mata



Matanya mengawasi saya sejak tadi, sejak saya mengetik dan menyeruput kopi. Dia terus bercerita, minta didengarkan, melihat sikap saya yang terus mengutak-atik laptop, Diana jadi kesal sendiri. Upss, saya mulai berani sebutkan namanya. Atas izin Diana, saya boleh menulis namanya. Wanita ini memang selalu di luar dugaan saya.  Wanita ini, dengan kerlingan matanya yang tajam sudah menyoroti saya. Dia juga tertawa terbahak-bahak ketika kisahnya tentang #CintaTapiBeda dilihat oleh puluhan ribu pasang mata. Aneh, mengapa dia begitu senang ketika kisah nyatanya saya tulis di blog pribadi saya? Saya kira dia akan marah, malu, kemudian membenci saya karena saya menulis posting-an blog berdasarkan kisah nyatanya.

Diana malah berterimakasih dengan mata berbinar, melihat komentar di bawah tulisan tersebut. Ia terharu karena kisahnya menginspirasi banyak orang agar menghargai dan menghormati perbedaan. Karena di luar sana, kadang kita tak tahu; bahwa perbedaan mampu menyakitkan bagi seseorang. Begitu juga bagi Diana, begitu juga bagi kekasihnya, Cahyo.

Mereka, seperti yang saya tuliskan kemarin, adalah pasangan beda agama. Diana, teman saya, seorang Khatolik sejati. Cahyo, kekasihnya, seorang Muslim. Berbeda dan berbenturan. Tapi, apakah karena perbedaan mereka dilarang jatuh cinta? Iya. Pasti. Tentu saja. Juga oleh kedua orangtua mereka.

Norma dan pandangan masyarakat tak mau tahu apa itu cinta, perasaan, juga pertemuan yang terjadi atas izin Tuhan. Diana dan Cahyo tak pernah bersungut-sungut pada Tuhan agar mereka dipertemukan lalu jatuh cinta. Tapi, mereka benar-benar bertemu, merasa nyaman, dan akhirnya bisa mendefinisikan arti cinta yang sesungguhnya; walaupun segalanya jadi tak mudah. Jujur, kisah mereka adalah kisah yang indah, bukan kisah-kisah manja, murahan, dan cinta-cintaan yang buang-buang waktu. Betapa indahnya pertemuan antara manusia dengan manusia, tanpa memikirkan segala atribut sosial yang mengekang kemanusiannya; agama.

Dalam kebahagiaan, kadang terselip tangisan. Dalam doa panjang untuk Tuhan, kadang terselip permintaan yang mungkin saja enggan Tuhan dengarkan. Tuhan yang mana yang sedang mendengarkan doamu? Tuhan yang menciptakan hujan? Tuhan yang menciptakan tulang rusuk untuk seorang pria? Tuhan yang menciptakan agama? Tuhan mencipta agama? Lucu.

Agama. Agama. Agama. Cinta. Cinta. Cinta. Tuhan. Hantu. Tuhan. Saya sedang sedikit emosional dan terbawa oleh ceritanya. Ketika semua orang, yang tahu kisah Diana dan Cahyo menganggap mereka pasangan “kutukan”. Begini, mereka hanya jatuh cinta, dan memperjuangkan yang bagi mereka harus diperjuangkan; apa salah mereka hingga banyak orang menilai mereka seperti sampah?

Apalagi, kedua orangtua. Memang, orangtua selalu inginkan yang terbaik bagi anaknya, bagi keturunannya, tapi terlalu menyakitkan bagi Diana dan Cahyo jika mereka harus berpisah hanya karena berbeda. Apakah tak ada jalan lain untuk menyatukan? Apakah orang-orang sekitar tak lagi peduli dengan perasaan dan perbedaan?

Memang, Diana dan Cahyo berbeda, tapi... APA SALAHNYA? Tidak dapat dipungkiri memang, orangtua juga ingin memiliki keluarga baru yang memiliki kesamaan dengan beliau-beliau. Manusia selalu takut dengan perbedaan, mereka selalu nyaman dengan hal yang terlihat sama di mata mereka. Padahal, berbeda belum tentu salah, dan punya kesamaan belum tentu benar. Seharusnya perbedaan ada bukan untuk disalahkan, dihakimi, lalu dianggap seakan-akan ada. Bukankah perbedaan harusnya jadi “sarana” untuk mengenal dan saling melengkapi?

Cinta milik Diana dan Cahyo memang terjadi begitu saja, tanpa sutradara, karena bukan drama. Diana mencintai Tuhan, begitu juga dengan Cahyo; walaupun mereka beribadah di tempat yang berbeda. Salahkah mereka?

Apakah perbedaan yang Tuhan ciptakan hanya akan jadi penghalang?

Dalam dingin yang menusuk-nusuk tulang
Saya tak lagi paham

Apakah cinta dan agama tak layak disatukan?

Menemukanmu Diudara Saat Menghayal

Waktu itu aku masih terlalu dini untuk memahami cinta, yang kutahu aku sangat suka sepak bola hingga aku rela mengejar Bambang Pamungkas, Charis Yulianto, dan Isnan Ali hingga ke Stadion Sawangan. Aku  masih ingat saat itu kiper Timnas Indonesia masih Markus Horison dan Ferry Rotinsulu. Jaraknya stadion dari rumahku adalah empat puluh kilometer. Perjuanganku terbayar ketika peluh keringat tergantikan dengan kebahagiaan berlipat, kita bertemu, waktu itu usiamu tiga tahun di atasku.

Aku tak tahu apa itu namanya perasaan cinta atau kamu hanya memanfaatkan waktu-waktu sempit saat kamu turun minum. Selama ini, setelah kucoba pahami, sepertinya benar kalau itu cuma kertarikan sesaat, ketika kehilangan kabar darimu; aku tak punya keinginan untuk mencarimu. Mungkin, karena aku tahu tak ada yang perlu dilanjutkan ke hubungan yang serius. 

Di stadion tempat pertemuan kita, aku masih ingat kamu selalu menghampiriku yang duduk di dekat rumput pinggir lapangan. Sambil melihat pemain tim nasional berlatih, sesekali kamu mengajakku berbincang, dan aku masih ingat kamu marah besar ketika tahu tim favoritku adalah Persija dan Manchester United. Kamu suka biru, tak suka merah atau orange, kamu suka Persib dan Chelsea. Ah, semua tentangmu ternyata belum benar-benar terhapus dari ingatanku. 

Tubuhmu yang atletis dan peluh yang menetes di pelipismu belum bisa kulupakan. Tim nasional menggunakan lapangan bawah dan kamu yang bergabung di U-19 salah satu tim sepak bola yang tersohor kala itu berlatih di lapangan atas. Sambil menunggu Bambang Pamungkas, pria yang kucintai setengah mati itu turun ke lapangan untuk latihan, sesekali aku melihatmu yang sibuk berlatih di lapangan atas. Tentu aku ingat, kamu melambaikan tanganmu dan memanggil namaku dengan lantang, entah mengapa caramu memperlakukan aku selalu membuatku canggung. Aku, gadis berumur empat belas tahun kala itu hanya bisa tersenyum malu-malu, dan hanya berani mengabadikan namamu dalam ingatan. 

Memang, aku tak menunggumu selesai latihan. Kamu selesai latihan pukul lima, sementara aku harus memerhatikan idolaku yang mulai latihan pukul empat sore. Kamu tentu memahami perasaanku. Namun, aku tak tahu apakah kamu paham arti debar jantungku ketika kamu meminta nomor handphone-ku? Selanjutnya, seperti yang kubayangkan, kita bertukar kabar melalui pesan singkat dan percakapan di telepon. Sejak saat itu, aku selalu menunggu kamu. Sejak saat itu juga, aku mulai takut kehilangan kamu. 

Aku hancur ketika tahu kamu harus pindah ke Jogjakarta untuk melanjutkan mimpimu. Ketika kamu mengucap kata pisah, aku hanya bisa mengangguk lemah. Kita tak pernah terikat dalam hubungan apa-apa, rasanya terlalu naif jika aku harus menangis di depanmu atau terlihat sangat rapuh kala itu. Kubiarkan kamu pergi meninggalkan remuk redam hatiku yang lebam kala itu. Bayangkan, anak SMP bisa patah hati? Akhirnya aku tahu, ini bukan ketertarikan sesaat, ini adalah cinta yang berusaha aku hindari dan kamu pungkiri.

Tadi pagi, aku membuka koran dan rasanya sangat manis bisa melihat namamu tertulis di kolom patah hati. Ini bukan perasaan yang asing, kutemukan diriku yang selalu tersenyum ketika membaca, mendengar, dan melihat namamu di surat kabar, media online, dan media lain yang kupantau dengan ujung jemariku. Kamu berhasil meraih mimpimu bukan? Aku bahagia ketika tahu kamu sudah berhasil menjadikan dirimu seperti yang dulu sering kauceritakan padaku.

Di penerbangan JT567, Adisucipto-Soekarno Hatta ini, aku terbangun dari tidurku karena mendengar dengkuran yang sangat keras. Aku menatap tajam pria yang duduk di sampingku, pria yang cukup tampan dengan sedikit kumis halus di dekat bibirnya. Hidung yang tak terlalu mancung dan rahang yang tegas. Kuperhatikan sosok pria itu semakin dalam, pria yang wajahnya baru tadi pagi kulihat di surat kabar. Oh, ternyata kamu. Kali ini, Tuhan mau bikin apa lagi? Mau bikin hatiku remuk untuk kedua kali? 

Hahaha!


Kamu ingat foto ini? Foto ini kuambil ketika kamu menempelkan kepalamu di kepalaku, untuk melihat gambar yang ada di kamera digitalku. Andai jemariku seperti jemari Tuhan, aku ingin waktu saat itu terhenti.

dari pengagummu
yang masih takut

kehilangan kamu.

Aku Ingin Kau Pergi

Untuk Si Tukang Galau,
Aku sudah baca tulisanmu mengenai kesedihan yang selalu kaulebih-lebihkan itu. Mengapa kamu begitu mudah menikmati perasaan sedihmu dan melarikan segalanya ke dalam tulisan? Dewasalah, Sayang, seharusnya setelah kutinggalkan; itulah kesempatan kaubisa belajar banyak hal. Jangan dikira aku tidak membaca tulisanmu, diam-diam aku memerhatikan curahan hati di blog-mu dan saat jam-jam segini, aku sering mengintip lini waktu akun Twitter-mu, mencari-cari adakah sosokku dalam rintihan kegalauanmu?

Sambil mengisap rokok yang asapnya selalu kaubenci, juga menyesap kopi yang rasanya selalu kaucaci;  aku berusaha keras menulis ini. Semoga apapun yang kukatakan secara jujur di sini, tak akan membuatmu kecewa. Aku memang kuliah di Jogja, dengan budaya Jawa yang sangat kental, tapi di sini aku tak akan memberi sanepa atau kode atau isyarat seperti kamu selalu memberiku bahasa-bahasa perasaan aneh itu lalu memintaku menerjemahkan segalanya. Aku benci keegoisanmu tapi entah mengapa malam ini aku sangat merindukanmu.

Di ponsel jadul yang ada di samping laptop-ku ini, yang hanya bisa digunakan untuk menerima telepon dan membaca pesan singkatmu, ada banyak kenangan yang tak bisa kulupakan. Jangan dikira aku sudah melupakanmu, di ponsel ini masih ada pesan singkatmu, masih ada nomor kontakmu, dan masih saja kubiarkan kata-kata cintamu di pesan singkat; abadi dalam kotak masuk. Sayang, aku pun sebenarnya rapuh, tapi aku tidak seperti kamu yang bisa dengan mudah menujukkan kerapuhanmu pada dunia. Aku tidak bisa seperti itu, aku pria dan aku dituntut untuk menerima semua rasa sakit tanpa harus menujukkan air mata. Kuharap kamu memahami itu, Sayang, agar kautak selalu menyalahkanku atas perpisahan ini.

Detik ini, wajahmu mampir di otakku. Saat kamu membawakanku minuman dingin, aku tak bisa melupakan wajah polosmu. Senyummu sangat manis kala itu, rambut yang diikat satu, baju garis-garis hitam pink, jam tangan pink, anting emas putih, dan kalung salib. Tinggimu yang sebahuku membuatku begitu mudah untuk meraih bahumu, aku langsung menggenggam pergelangan tanganmu. Tahukah kamu saat itu aku sangat ingin memelukmu, mencium bibirmu, mengecup telingamu, melumat habis pipimu, dan berakhir dengan kecupan kecil di kening; seperti perjanjian kita mengenai hal yang akan kulakukan ketika pertama kali bertemu kamu.

Tapi, aku canggung. Aku tidak berani menyentuhmu terlalu lama dan tak berani bilang bahwa aku sangat senang jika kamu melihat aksiku menjadi zombie pada teater yang kupentaskan. Sesungguhnya, aku sangat ingin memelukmu kala itu, namun aku takut pada ratusan mata yang menyorot kita, aku takut dandananku yang lusuh mengotori bajumu, dan aku takut aroma tubuhku yang tidak beraroma parfum seperti tubuhmu akan merusak aroma wangi tubuhmu. Dan, ketika melihatmu, pertama kali melihatmu, aku sadar kamu terlalu tinggi untukku, kamu terlalu sempurna untuk sosok sederhana seperti aku. Sayang, inilah rasa sakitku yang tak kaupahami, yang selalu kauartikan bahwa aku pergi karena aku tidak mencintaimu lagi.

Aku menyesal telah pergi meninggalkanmu, aku menyesal telah meminta status kita yang sempat spesial harus kembali lagi menjadi status hanya teman. Kupikir, untuk saat ini, hal itulah yang terbaik. Aku belum siap menghadapi gemerlapnya kamu. Aku takut silaunya duniamu membuat aku tak siap menghadapi apapun yang akan menerjang hubungan kita kelak. Aku tidak siap menjadi pendampingmu, menjadi kekasih yang kisahnya harus selalu kaubawa dalam tulisanmu. Jadi, kuizinkan wanita itu masuk ke dalam hidupku, wanita yang selama ini mengejarku namun kuabaikan karena kaupernah hadir dalam hidupku. Dia hanya mahasiswi biasa, Sayang, bukan penulis skenario film juga bukan penulis novel seperti kamu. Tapi, dia tidak bisa seperti kamu, dia tidak kuat begadang, dia tidak mengerti jalan pikiranku seperti kamu mengerti jalan pikiranku.

Saat aku membicarakan soal sastra feminis, dia hanya geleng-geleng kepala. Mengingat kita pernah berbicara perihal sastra feminis sampai berbusa di tengah malam itu, aku jadi rindu sosokmu yang blak-blakan. Aku rindu kamu yang beberapa kali membantuku menyelesaikan tugas kuliah. Ah, kita sama-sama Sastra Indonesia, namun kaujauh sekali di sudut kota sana. Aku berusaha mencari-cari sosokmu dalam diri wanitaku, namun kautak ada di sana, kamu hanya satu di dunia. Dan, perempuan tukang galau tapi bisa membuatku nyaman selama ini hanyalah kamu. Kamu yang saat ini berusaha kujauhi, berusaha kubenci, dan berusaha kubunuh dalam hati.

Kita telah berpisah dan ini menyebabkanku ingkar janji. Aku pernah berjanji ingin mengajakmu ke kamar kontrakanku, yang ada di dekat vokasi UGM, dekat air terjun, yang suara gemerisik airnya selalu membuatmu tenang ketika berbicara denganku di telepon. Janjiku dulu, aku ingin membuat kamu mabuk dengan ciu atau dengan beer murah yang hanya sanggup kubeli dengan uang saku yang kumiliki. Pokoknya, apapun minumannya, aku ingin kita mabuk berdua. Lalu, aku membawamu ke dalam pelukan, menikmati wajahmu yang pusing dan hampir ambruk. Sesekali, di keremangan kamarku, kamu pasti bertanya soal poster Sapardi Djoko Damono yang kutempelkan di kamarku, lalu bertanya mengenai udara Jogja yang semakin malam semakin dingin. Itu masih dalam khayalanku. Khayalan yang kautolak mentah-mentah, dengan tawa pecah, ketika aku ungkapkan keinginan itu padamu.

Wahai gadisku yang senang bergalau ria di dunia seratus empat puluh karakter, meskipun kita tak lagi bersama, maukah kausering-sering datang ke Jogja; supaya aku tahu, apa yang sesungguhnya kaucari selama ini? Apakah kausungguh mencintaiku atau hanya menginginkan kisah kita untuk jadi bahan tulisanmu?

Aku duduk di tempat kita pertama kali bertemu. Tempat yang harusnya menjadi kenangan kita berdua. Bilik kecil yang terdiri dari satu me...
Rasanya semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi s...
Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilm...
            “Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba membersihkan ice cream di bibirku.         ...
Aku kira, aku sudah berhasil melupakan segala macam tentangmu. Kupikir aku siap membuka hatiku untuk seseorang yang baru. Aku yakin bahwa 

dari Zombie-mu
yang seringkali
tak tahu diri