Waktu itu aku masih terlalu dini
untuk memahami cinta, yang kutahu aku sangat suka sepak bola hingga aku rela
mengejar Bambang Pamungkas, Charis Yulianto, dan Isnan Ali hingga ke Stadion
Sawangan. Aku masih ingat saat itu kiper Timnas Indonesia masih Markus
Horison dan Ferry Rotinsulu. Jaraknya stadion dari rumahku adalah empat puluh
kilometer. Perjuanganku terbayar ketika peluh keringat tergantikan dengan
kebahagiaan berlipat, kita bertemu, waktu itu usiamu tiga tahun di atasku.
Aku tak tahu apa itu namanya
perasaan cinta atau kamu hanya memanfaatkan waktu-waktu sempit saat kamu turun
minum. Selama ini, setelah kucoba pahami, sepertinya benar kalau itu cuma
kertarikan sesaat, ketika kehilangan kabar darimu; aku tak punya keinginan
untuk mencarimu. Mungkin, karena aku tahu tak ada yang perlu dilanjutkan ke
hubungan yang serius.
Di stadion tempat pertemuan kita,
aku masih ingat kamu selalu menghampiriku yang duduk di dekat rumput pinggir
lapangan. Sambil melihat pemain tim nasional berlatih, sesekali kamu mengajakku
berbincang, dan aku masih ingat kamu marah besar ketika tahu tim favoritku
adalah Persija dan Manchester United. Kamu suka biru, tak suka merah atau
orange, kamu suka Persib dan Chelsea. Ah, semua tentangmu ternyata belum
benar-benar terhapus dari ingatanku.
Tubuhmu yang atletis dan peluh yang
menetes di pelipismu belum bisa kulupakan. Tim nasional menggunakan lapangan
bawah dan kamu yang bergabung di U-19 salah satu tim sepak bola yang tersohor
kala itu berlatih di lapangan atas. Sambil menunggu Bambang Pamungkas, pria
yang kucintai setengah mati itu turun ke lapangan untuk latihan, sesekali aku
melihatmu yang sibuk berlatih di lapangan atas. Tentu aku ingat, kamu
melambaikan tanganmu dan memanggil namaku dengan lantang, entah mengapa caramu
memperlakukan aku selalu membuatku canggung. Aku, gadis berumur empat belas
tahun kala itu hanya bisa tersenyum malu-malu, dan hanya berani mengabadikan
namamu dalam ingatan.
Memang, aku tak menunggumu selesai
latihan. Kamu selesai latihan pukul lima, sementara aku harus memerhatikan
idolaku yang mulai latihan pukul empat sore. Kamu tentu memahami perasaanku.
Namun, aku tak tahu apakah kamu paham arti debar jantungku ketika kamu meminta
nomor handphone-ku? Selanjutnya, seperti yang kubayangkan, kita bertukar
kabar melalui pesan singkat dan percakapan di telepon. Sejak saat itu, aku
selalu menunggu kamu. Sejak saat itu juga, aku mulai takut kehilangan
kamu.
Aku hancur ketika tahu kamu harus
pindah ke Jogjakarta untuk melanjutkan mimpimu. Ketika kamu mengucap kata
pisah, aku hanya bisa mengangguk lemah. Kita tak pernah terikat dalam hubungan
apa-apa, rasanya terlalu naif jika aku harus menangis di depanmu atau terlihat
sangat rapuh kala itu. Kubiarkan kamu pergi meninggalkan remuk redam hatiku
yang lebam kala itu. Bayangkan, anak SMP bisa patah hati? Akhirnya aku tahu,
ini bukan ketertarikan sesaat, ini adalah cinta yang berusaha aku hindari dan
kamu pungkiri.
Tadi pagi, aku membuka koran dan
rasanya sangat manis bisa melihat namamu tertulis di kolom patah hati. Ini bukan
perasaan yang asing, kutemukan diriku yang selalu tersenyum ketika membaca,
mendengar, dan melihat namamu di surat kabar, media online, dan media lain yang
kupantau dengan ujung jemariku. Kamu berhasil meraih mimpimu bukan? Aku bahagia
ketika tahu kamu sudah berhasil menjadikan dirimu seperti yang dulu sering
kauceritakan padaku.
Di penerbangan JT567, Adisucipto-Soekarno
Hatta ini, aku terbangun dari tidurku karena mendengar dengkuran yang sangat
keras. Aku menatap tajam pria yang duduk di sampingku, pria yang cukup tampan
dengan sedikit kumis halus di dekat bibirnya. Hidung yang tak terlalu mancung dan
rahang yang tegas. Kuperhatikan sosok pria itu semakin dalam, pria yang
wajahnya baru tadi pagi kulihat di surat kabar. Oh, ternyata kamu. Kali ini,
Tuhan mau bikin apa lagi? Mau bikin hatiku remuk untuk kedua kali?
Hahaha!
|
|||
Kamu
ingat foto ini? Foto ini kuambil ketika kamu menempelkan kepalamu di
kepalaku, untuk melihat gambar yang ada di kamera digitalku. Andai jemariku seperti
jemari Tuhan, aku ingin waktu saat itu terhenti.
|
dari
pengagummu
yang
masih takut
kehilangan
kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar