Untuk Si Tukang Galau,
Aku sudah baca tulisanmu mengenai
kesedihan yang selalu kaulebih-lebihkan itu. Mengapa kamu begitu mudah
menikmati perasaan sedihmu dan melarikan segalanya ke dalam tulisan? Dewasalah,
Sayang, seharusnya setelah kutinggalkan; itulah kesempatan kaubisa belajar
banyak hal. Jangan dikira aku tidak membaca tulisanmu, diam-diam aku
memerhatikan curahan hati di blog-mu dan saat jam-jam segini, aku sering
mengintip lini waktu akun Twitter-mu, mencari-cari adakah sosokku dalam
rintihan kegalauanmu?
Sambil mengisap rokok yang asapnya
selalu kaubenci, juga menyesap kopi yang rasanya selalu kaucaci; aku
berusaha keras menulis ini. Semoga apapun yang kukatakan secara jujur di sini,
tak akan membuatmu kecewa. Aku memang kuliah di Jogja, dengan budaya Jawa yang sangat
kental, tapi di sini aku tak akan memberi sanepa atau kode atau isyarat
seperti kamu selalu memberiku bahasa-bahasa perasaan aneh itu lalu memintaku
menerjemahkan segalanya. Aku benci keegoisanmu tapi entah mengapa malam ini aku
sangat merindukanmu.
Di ponsel jadul yang ada di samping laptop-ku
ini, yang hanya bisa digunakan untuk menerima telepon dan membaca pesan
singkatmu, ada banyak kenangan yang tak bisa kulupakan. Jangan dikira aku sudah
melupakanmu, di ponsel ini masih ada pesan singkatmu, masih ada nomor kontakmu,
dan masih saja kubiarkan kata-kata cintamu di pesan singkat; abadi dalam kotak
masuk. Sayang, aku pun sebenarnya rapuh, tapi aku tidak seperti kamu yang bisa
dengan mudah menujukkan kerapuhanmu pada dunia. Aku tidak bisa seperti itu, aku
pria dan aku dituntut untuk menerima semua rasa sakit tanpa harus menujukkan
air mata. Kuharap kamu memahami itu, Sayang, agar kautak selalu menyalahkanku
atas perpisahan ini.
Detik ini, wajahmu mampir di otakku.
Saat kamu membawakanku minuman dingin, aku tak bisa melupakan wajah polosmu.
Senyummu sangat manis kala itu, rambut yang diikat satu, baju garis-garis hitam
pink, jam tangan pink, anting emas putih, dan kalung salib. Tinggimu yang
sebahuku membuatku begitu mudah untuk meraih bahumu, aku langsung menggenggam
pergelangan tanganmu. Tahukah kamu saat itu aku sangat ingin memelukmu, mencium
bibirmu, mengecup telingamu, melumat habis pipimu, dan berakhir dengan kecupan
kecil di kening; seperti perjanjian kita mengenai hal yang akan kulakukan
ketika pertama kali bertemu kamu.
Tapi, aku canggung. Aku tidak berani
menyentuhmu terlalu lama dan tak berani bilang bahwa aku sangat senang jika
kamu melihat aksiku menjadi zombie pada teater yang kupentaskan. Sesungguhnya,
aku sangat ingin memelukmu kala itu, namun aku takut pada ratusan mata yang
menyorot kita, aku takut dandananku yang lusuh mengotori bajumu, dan aku takut
aroma tubuhku yang tidak beraroma parfum seperti tubuhmu akan merusak aroma
wangi tubuhmu. Dan, ketika melihatmu, pertama kali melihatmu, aku sadar kamu
terlalu tinggi untukku, kamu terlalu sempurna untuk sosok sederhana seperti
aku. Sayang, inilah rasa sakitku yang tak kaupahami, yang selalu kauartikan
bahwa aku pergi karena aku tidak mencintaimu lagi.
Aku menyesal telah pergi
meninggalkanmu, aku menyesal telah meminta status kita yang sempat spesial
harus kembali lagi menjadi status hanya teman. Kupikir, untuk saat ini, hal
itulah yang terbaik. Aku belum siap menghadapi gemerlapnya kamu. Aku takut silaunya
duniamu membuat aku tak siap menghadapi apapun yang akan menerjang hubungan
kita kelak. Aku tidak siap menjadi pendampingmu, menjadi kekasih yang kisahnya
harus selalu kaubawa dalam tulisanmu. Jadi, kuizinkan wanita itu masuk ke dalam
hidupku, wanita yang selama ini mengejarku namun kuabaikan karena kaupernah
hadir dalam hidupku. Dia hanya mahasiswi biasa, Sayang, bukan penulis skenario
film juga bukan penulis novel seperti kamu. Tapi, dia tidak bisa seperti kamu,
dia tidak kuat begadang, dia tidak mengerti jalan pikiranku seperti kamu
mengerti jalan pikiranku.
Saat aku membicarakan soal sastra
feminis, dia hanya geleng-geleng kepala. Mengingat kita pernah berbicara
perihal sastra feminis sampai berbusa di tengah malam itu, aku jadi rindu
sosokmu yang blak-blakan. Aku rindu kamu yang beberapa kali membantuku
menyelesaikan tugas kuliah. Ah, kita sama-sama Sastra Indonesia, namun kaujauh
sekali di sudut kota sana. Aku berusaha mencari-cari sosokmu dalam diri
wanitaku, namun kautak ada di sana, kamu hanya satu di dunia. Dan, perempuan
tukang galau tapi bisa membuatku nyaman selama ini hanyalah kamu. Kamu yang
saat ini berusaha kujauhi, berusaha kubenci, dan berusaha kubunuh dalam hati.
Kita telah berpisah dan ini
menyebabkanku ingkar janji. Aku pernah berjanji ingin mengajakmu ke kamar
kontrakanku, yang ada di dekat vokasi UGM, dekat air terjun, yang suara
gemerisik airnya selalu membuatmu tenang ketika berbicara denganku di telepon.
Janjiku dulu, aku ingin membuat kamu mabuk dengan ciu atau dengan beer
murah yang hanya sanggup kubeli dengan uang saku yang kumiliki. Pokoknya,
apapun minumannya, aku ingin kita mabuk berdua. Lalu, aku membawamu ke dalam
pelukan, menikmati wajahmu yang pusing dan hampir ambruk. Sesekali, di
keremangan kamarku, kamu pasti bertanya soal poster Sapardi Djoko Damono yang
kutempelkan di kamarku, lalu bertanya mengenai udara Jogja yang semakin malam
semakin dingin. Itu masih dalam khayalanku. Khayalan yang kautolak
mentah-mentah, dengan tawa pecah, ketika aku ungkapkan keinginan itu padamu.
Wahai gadisku yang senang bergalau
ria di dunia seratus empat puluh karakter, meskipun kita tak lagi bersama,
maukah kausering-sering datang ke Jogja; supaya aku tahu, apa yang sesungguhnya
kaucari selama ini? Apakah kausungguh mencintaiku atau hanya menginginkan kisah
kita untuk jadi bahan tulisanmu?
Aku
duduk di tempat kita pertama kali bertemu. Tempat yang harusnya menjadi
kenangan kita berdua. Bilik kecil yang terdiri dari satu me...
Rasanya
semua terjadi begitu cepat, kita berkenalan lalu tiba-tiba merasakan perasaan
yang aneh. Setiap hari rasanya berbeda dan tak lagi s...
Kamu
pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan
beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilm...
“Aku bisa sendiri.” aku menghempaskan tangannya dengan kasar ketika ia mencoba
membersihkan ice cream di bibirku.
...
Aku kira, aku sudah berhasil melupakan segala
macam tentangmu. Kupikir aku siap membuka hatiku untuk seseorang yang baru. Aku
yakin bahwa
dari
Zombie-mu
yang
seringkali
tak tahu diri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar